Pertanyaan pertama apa yang akan
anda tanyakan jika mewawancarai seorang calon Asisten Rumah Tangga (ART)?
Minta gaji berapa? // Pengalaman
kerjanya apa? // Sudah pernah ikut berapa juragan? Atau hal-hal lain yang
mungkin malah tidak ada hubungannya dengan pekerjaan? hehehe....Mencari ART
memang susah susah gampang.
Pengalaman saya soal pencarian
ART sangat simple. Saya tidak terlalu peduli dengan tetek bengek pribadinya.
Yang paling penting bagi saya adalah bisa calistung alias membaca, menulis, dan
menghitung. Tapi saya sempat kaget saat Mbak Tini mengatakan dia tidak lulus
SD. Namanya Partini (lahir 1979). Ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 4
SD. Untung saja ia bisa calistung. Kurang lebih 1 tahun ia bekerja dengan saya
untuk mengurus rumah tangga dan membantu momong Wafa ketika saya ngantor.
Beruntungnya saya mendapat orang yang InsyAllah
amanah serta memiliki 2 pengalaman pekerjaan yang sangat mendukung. Pertama,
pernah menjadi tukang laundry. Kedua, pernah momong bayi hingga si bayi berusia
11 tahun. Artinya, skill dan kesabarannya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Saya berpikir, Mbak Tini tak
selamanya bekerja dengan saya. Jika kelak ia berhenti, dia harus memiliki
sesuatu yang bisa dijadikan modal untuk meningkatkan taraf hidupnya. Saya pun
berembug dengan suami untuk mengikutkan Mbak Tini pada program paket A di
daerah Sangkrah, Surakarta. Tujuannya agar Mbak Tini memiliki ijazah SD. Mbak
Tini memiliki kemampuan yang mumpuni sehingga kalau ia memiliki ijazah SD, dia
bisa bekerja di pabrik atau sebagai karyawan OS. Mas Cahyo setuju. Tinggal Mbak
Tini meminta ijin suaminya untuk mengikuti program ini.
Deal. Mbak Tini tidak
keberatan untuk melaksanakan program tersebut. Saya katakan bahwa saya akan
tanggung biaya bulanan, semesteran dan Ujian Nasional nanti. Jika ada tagihan
lain sampaikan saja. Saya juga sempat mengajak Mbak Tini ke studio foto untuk
melengkapi syarat pendaftaran. Dengan mengenakan baju milik saya serta dandan
seadanya, jepret jepret. Beres. KBM pun berlangsung setiap Senin-Kamis pukul
19.30-21.00. Saya berpesan ke Mbak Tini agar selalu masuk kelas. Tidak hanya
nanggung biaya, saat sebulan mendekati UN, saya juga nanggung PR nya Mbak
Tini,wkwkwkwkw.
Pagi-pagi sebelum berangkat
ngantor, ia sodorkan sebendel soal dengan beberapa mapel. Katanya sih untuk tryout. “Bu, ada PR disuruh latihan,”
katanya. Lalu saya jawab, “Yang sekolah kamu, kok yang disuruh ngerjain PR
aku.” Lalu kami tertawa bersama. Ia menggendong Wafa, dan saya sambil
mengerjakan PR nya. Jadi Mbak Tini hanya perlu mengingat setiap soal dengan
jawaban yang benar. Keadaan seperti ini, pasti kita maklum. Ia tak mungkin
membaca buku. Ia tak mungkin belajar selayaknya anak sekolah.
Hari-hari mendekati UN. Apakah
menegangkan? Tidak sama sekali. Mbak Tini bekerja seperti biasanya. Saya
ngantor seperti biasanya. Kalau dia ada PR ya pasti saya bantu kerjakan. Yang
menegangkan bukan UN nya, tapi perutnya yang semakin membesar. Seingat saya,
saat UN ia sedang hamil 7 bulan. Oh oh,,,semoga lancar. UN pun berlansung
lancar.
Dengan berat hati saya sampaikan,
“Mbak, maaf. Sampeyan tidak mungkin kerja dengan aku selamanya. Aku tidak
mungkin ngopeni anakmu juga. Sampeyan juga tidak mungkin bekerja dalam keadaan
punya bayi . Jadi, maaf banget, kalau usia kehamilanmu sudah 36 minggu, aku
menghentikanmu ya Mbak. Terima kasih banyak atas bantuan selama ini.” Saat itu
saya sedih sekali. Tidak tega. Saya sangat sedih karena harus berpikir mencari ART baru atau mencarikan Wafa sebuah
day care. Tapi menghentikan ia bekerja adalah pilihan yang paling realistis.
Si jabang bayi dengan nama Joko
Perkasa telah lahir dengan berat badan 3.4 kg. Kini ia telah berusia 1,5 tahun
dan sudah bisa berlari. Sayang, usia Bapaknya tidak panjang. Suami Mbak Tini
meninggal 1,5 bulan yang lalu dalam kecelakaan motor saat berangkat bekerja.
Ijazah Mbak Tini pun baru sempat diambil pada Senin (26/2/2018) kemarin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar