Siang itu ruang tamu rumah kami dipenuhi oleh anak kecil usia SD dan balita yang didampingi oleh orang tuanya. Mereka duduk rapi menanti bancakan yang akan dibagikan setelah berdoa bersama. Mereka datang dengan pakaian seadanya layaknya saat bermain, dan tidak membawa bingkisan apa pun. Hadir pula para handai taulan dan sahabat dekat kami. Putri kami pun tampil apa adanya, dengan baju pink tanpa aksesoris apa pun. Di atas tikar, tersaji hidangan sederhana berupa nasi bancakan yang telah ditata sedemikian rupa di atas pincuk daun pisang. Karak, tahu dan tempe bacem, serta ayam goreng pun dihidangkan sebagai lauk. Sebagai tambahan, kami siapkan martabak mini dengan topping yang menarik.
Di depan Rumah Nenek (Jayengan, Surakarta) |
Hari itu kami mengadakan tasyakuran ulang tahun putri kami yang genap berusia satu tahun. Tasyakuran sengaja digelar di rumah saja. Tidak ada undangan tertulis yang dibagikan kepada para tetangga maupun saudara. Pernak-pernik pesta ulang tahun pun sengaja kami hindari. Sebagai tuan rumah, kami berharap tidak ada bingkisan atau kado yang diberikan untuk putri kami. Kami lebih memilih untuk tasyakuran dengan tradisi bancakan. Menantikan doa-doa berdatangan dari kebersahajaan.
Bancakan merupakan sebuah tradisi kenduri yang masih dilakukan sebagian orang. Dalam tradisi bancakan, hidangan yang disajikan adalah nasi putih, berbagai sayuran seperti timun, tauge, buncis, wortel, bayam, kenikir, kacang panjang yang direbus lalu dicampur dengan urap kelapa parut yang telah dibumbui. Biasanya juga dilengkapi dengan telur rebus. Nasi bancakan terkadang disebut juga dengan nasi gudangan atau nasi urapan.
Awalnya tradisi bancakan adalah sebuah upacara sederhana masyarakat Jawa untuk menyertai tahapan perkembangan seorang anak. Biasanya dilakukan untuk memperingati hari lahir anak berdasarkan hari pasaran pada penanggalan Jawa, atau yang biasa disebut dengan wetonan. Bancakan dilaksanakan sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan berbagai nikmat, khususnya nikmat usia dan keselamatan.
Seiring berjalannya waktu, tradisi bancakan dulu dan kini pun berubah secara fisik. Dulu bancakantak lengkap tanpa penyajian tumpeng berupa gunungan nasi yang dibentuk kerucut disertai hidangan sayur dan lauk pauk yang lezat. Namun, kini bancakan tak selalu menyajikan tumpeng. Bukan urusan ada atau tidaknya tumpeng dalam tradisi bancakan yang kami selenggarakan, tapi lebih kepada tujuan diadakannya bancakan.
Bersama para tetangga dan saudara |
Saat putri kami berusia 40 hari, kami pun mengadakan bancakan 7 hari setelah aqiqah. Bancakan di kampung, lagi dan lagi. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kami mengapa menyelenggarakan bancakan, bukan pesta ulang tahun yang meriah untuk si kecil.
Pertama, bancakan adalah pengajaran hidup. Penting bagi orangtua mengajarkan kesederhanaan dalam hidup, tidak berlebihan. Cukup sak madya, kata orang Jawa. Mengajari anak untuk selalu rendah hati kepada siapapun, tidak menyombongkan apa yang dia atau orangtuanya miliki. Selain itu, sudah seharusnya orangtua mengajarkan akan rasa syukur yang setiap saat bisa dipanjatkan melalui berbagai cara, salah satunya adalah berbagi nasi bancakan dengan para tetangga dan saudara tanpa mengharapkan pamrih, Murni untuk berbagi kebahagiaan saja dalam suasana yang akrab dan erat. Dengan segala kemewahan perayaan, apa yang sebenarnya ingin diajarkan kepada anak? Toh acara heboh maupun tidak, anak usia balita belum paham dengan makna kemeriahan pesta. Perlu disadari bahwa orang tua dan keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam penguatan karakter anak. Setiap sikap dan perilaku anak merupakan cerminan apa yang diajarkan dan dibiasakan oleh orangtua.
Kedua, melatih kepekaan sosial anak. Intensitas interaksi sosial anak sangat bergantung kepada seberapa sering orangtua mengajak si anak untuk bertemu orang lain yang tinggal di luar rumahnya. Jiwa sosial anak bukanlah sebuah sulap yang terwujudkan dalam sekejap bisa, tetapi butuh waktu lama untuk menjadikannnya peka akan lingkungan sekitar. Berkunjung atau silaturahim ke sanak saudara atau teman-teman si orangtua bisa menjadi salah satu cara untuk mengenalkan anak kepada orang lain. Bancakan menjadi salah satu media yang jitu untuk melatih interaksi sosial anak. Saat diteriakkan, “Ayo cah, rene, ono bancakan!”, anak-anak kecil langsung berkumpul.
Mereka duduk rapi. Ikut mendoakan dan berharap akan keselamatan. Cukup, tanpa ritual ini-itu. Dengan berkumpulnya anak-anak kecil, maka secara otomatis akan terjadi interaksi sosial yang dapat berujung pada pengasahan jiwa sosial anak. Interaksi tersebut bisa dalam bentuk bermain atau bahkan saling berebut mainan maupun makanan. Di sinilah anak akan belajar berbagi dan saling peduli, bahwa “Aku teman dia, dan dia adalah temanku. Jika dia disakiti, maka aku juga akan sakit dan sebaliknya". Karena anak kita juga butuh teman sebaya, jadi sebagai orang tua sudah seharusnya wajib mengenalkan anak balitanya kepada lingkungan terdekat.
Tidak hanya sampai disitu, dengan bancakan, kita dapat mengumpulkan sanak saudara di rumah, dengan suasana akrab tanpa jarak. Mengenalkan anak kita lebih dekat kepada kakek-neneknya yang tidak serumah, sepupunya, paklik, bulik, pakdhe, dan budhe, serta saudaranya yang mungkin jarang bertemu. Anak makin mempunyai banyak kesempatan dalam berinteraksi, baik dengan teman seusianya maupun saudara terdekatnya.
Ketiga, mengenalkan tradisi atau identitas. Sultan Takdir Alisyahbana mengatakan kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir. Bancakan sendiri merupakan bagian dari kebudayaan yang mencerminkan cara pikir orang Jawa yang suka menolong dan bergotong royong. Dengan mengadakan bancakan, maka secara tidak langsung kita telah mengenalkan kepada anak tentang asal usul kita, dan ikut melestarikan sebuah tradisi yang bisa jadi kini kian meluntur atau dianggap kuno. Padahal dalam sebuah tradisi, banyak sekali makna-makna simbolis yang terkandung di dalamnya.
Semoga tradisi bancakan dapat lestari di kalangan orangtua untuk mengajarkan makna kesederhanaan dalam hidup dan melatih kepekaan sosial anak. Perlu diingat, karakter anak dibentuk dari rumahnya, keluarganya. Keluarga sebagai rumah pengajaran urip.
Note: Tulisan di atas merupakan hasil perenungan saya setelah mengadakan bancakan di rumah dalam rangka ulang tahun Wafa yang pertama (28 Februari 2016). Tulisan yang asli saya kirim dan telah dimuat di http://theurbanmama.com/articles/bancaan-dan-interaksi-sosial-anak-w58132.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar