Minggu, 25 Februari 2018

Sering-seringlah memberi tips kepada pelayan: 10 Hari Menjadi Pelayan Restoran (Bagian 2)


Ditulis oleh @elliyinayin

Pagi-pagi datang kira-kira pukul 07.30 WIB, saya harus sudah mulai melipat tissu, menata kursi dan memastikan meja sudah bersih. Menyapu jika ada sedikit kotoran yang jatuh. Membersihkan wastafel jika tampak sedikit sisa makanan yang berceceran. Pekerjaan itu tidak saya lakukan sendiri, namun ada beberapa partner. Kalau sedang sepi pelanggan pada jam-jam tertentu, maka saya dituntut untuk kreatif dan peka melihat pekerjaan teman yang mana yang perlu dibantu.

Saya ingat sekali saat di lantai dua akan ada sebuah pesta pernikahan. Seharian saya mengelap piring, lepek, sendok, garpu dan segala alat yang akan digunakan. Bisa kalian bayangkan betapa tangan ini sakit seharian mengelap barang-barang tersebut. Lebih berat lagi dan tidak tega saat saya mengetahui teman-teman saya yang laki-laki diminta bos untuk memasukkan dan mengeluarkan kembali kursi-kursi yang akan dipakai. Apa yang saya lap, kira-kira berjumlah 200 s/d 300 pcs untuk satu jenis alat, jadi bisa dikalikan sendiri. Dan pekerjaan itu akan terulang kembali jika keesokan harinya ada pesanan lagi. Saat mengelap sudah usai, maka keringat pun bercucuran, ehh ini beneran lho J Oh tidak, tentu saya harus membantu teman saya yang lain untuk menata meja lalu menutupinya dengan kain yang telah disiapkan lalu memasangnya dengan paku pines. Ups, ini benar-benar membuat saya mengucurkan air mata, karena sangat sulit bagi saya yang tidak punya kuku panjang dan tidak ada bantuan alat dalam memasang dan melepas paku pines. Ujung kuku saya selalu merah dan hampir berdarah sedangkan telapak tangan saya, ya gitu deh rasanya. Sakit lagi, saat teman laki-laki mengatakan, “Manja banget sih Mbak, gitu aja ga bisa.”

Tidak berhenti sampai disitu. Sebelum mempelai datang, ada seorang teman lagi yang bertugas untuk memastikan bahwa ada sekelompok yang lain yang telah menata, mulai dari membuat teh, menata gelas untuk dituangi minuman karbonasi dan air mineral, memastikan dekorasi sudah tertata rapi, meja sudah tercover sesuai pesanan, snack jumlahnya tidak kurang, hingga main course yang tidak basi.

Well, saat acara berlangsung, saya dipercaya untuk menuangkan spirtus dan membawa korek api untuk dinyalakan saat nasi, lauk, sup dituang dalam wadah. Bagi saya itu sebuah kehormatan, mengingat spirtus dan korek api adalah kombinasi yang sangat berbahaya. Bayangkan saja, jika saya menaruh dendam dengan Bu dan Pak Bos, tentu saja dengan mudah saya membakar resto dan tempat tinggalnya. Hehehe… tapi itu tentu tidak akan saya lakukan. Saya masih waras J

Saat pesta ala prasmanan, maka saya harus segera membersihkan segala gelas, piring, mangkuk yang diletakkan para tamu secara sembarangan. Namun, jika pesta ala piring terbang alias bukan prasmanan, maka saya dan kawan-kawan harus bekerja extra keras, gerak cepat untuk “melemparkan” piring-piring tersebut ke para hadirin sekaligus menarik piring kotor yang ada di bawah kursi para tamu. Capek? TENTU. Berkeringat? SANGAT. Pekerjaan sebagai pramusaji itu sangat multitasking dan menguras tenaga. Selain kerja fisik, anda juga dituntut untuk selalu senyum kepada para customer. Kami pun tidak boleh saling iri, antara yang kerja di tempat dingin (area makan dan pelayanan) dan di tempat panas (area teman-teman yang masak di dapur).

Apakah saat para tamu yang hadir di pernikahan mulai pulang, maka pekerjaan kami juga usai? TENTU TIDAK. Kami masih harus membuang sisa makanan tamu, mengumpulkan semua piring, gelas, sendok, garpu dan semuanya. Menumpuk kursi dan memasukkannya di gudang, menggulung karpet merah. Mengembalikan panci-panci yang menu nya kami pesan dari luar serta mengepel seluruh ruangan.

Saat itu, saya mengenal seorang perempuan yang usianya sekitar 35 sd 40 an. Saya tidak mengetahui namanya. Yang saya tahu, jobdesnya dari pukul 7 pagi hingga 9 malam hanyalah mencuci piring, gelas dan segalanya. Saya sempat shocked saat mengetahui, dia adalah satu-satunya tukang cuci di resto tersebut.

Jadi, teman-teman bisa membayangkan, dibalik usaha kuliner/resto yang sukses, ada seorang pramusaji, tukang cuci piring, tukang angkat-angkat kursi, sopir yang siap sedia mengantarkan alat dan makanan ke spot yang akan dituju dan segala hal yang mendukungnya untuk sukses. Mereka semua bekerja tulus ikhlas demi rizki yang halal. Namun, seringkali seorang customer membutakan diri akan sebuah behind the scene sehingga makanan tersaji di meja.

Kami lebih sering menerima keluhan dibanding pujian. Tips pun tak seberapa dan jarang. Di resto tempat saya bekerja, uang tips akan dikumpulkan oleh bagian kasir sebagai celengan seluruh karyawan. Tujuannya jika sewaktu-waktu ada piring, gelas, atau apapun yang pecah karena kesalahan kita, maka uang tersebut digunakan untuk menggantinya. Sadis abis.

Melalui tulisan di atas, penulis berharap agar para konsumen lebih bijak serta bisa belajar menghargai waiter/waitress/servant/pelayan/pramusaji restoran ya. Upah kami tak seberapa dari sang juragan. Jadi sering-seringlah memberi uang tips agar kami juga semangat melayani anda J.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar