Minggu, 25 Februari 2018

Ulun Bangga Memanggil Pian-Abah Mamak



foto abah mama edit
Abah (alm), saya, Mamak. Wisuda IAIN Surakarta 22 September 2012
Ditulis oleh @elliyinayin

Tulisan ini tidak ada maksud SARA. Hanya untuk sekedar mengenalkan identitas diri yang sering dipertanyakan oleh kanan kiri.



Tentu tak banyak anak yang mempertanyakan hal sepele mengapa kami memanggil orang tua dengan sebutan yang berbeda-beda. Ada yang memanggil dengan Bapak Ibu, Papa Mama, Abi Umi, Babe Enyak, Abah Umi, Pipi Mimi, Mama Mimi, Bapa Biyung, Daddy Mommy, dst. Apakah hal di atas hanya semata-mata kesewenangan orang tua ingin dipanggil si anak dengan sebutan apa?

Saya (+-2 tahun) digendong Abah

Ah... saya meragukan hal tersebut. Jika itu hanya kesewenangan orang tua atau sekedar kebiasaan di daerah tertentu dimana orang tua tinggal dan si anak dibesarkan, mengapa saya tak pernah bisa menjawab pertanyaan teman sekolah hingga saya kuliah? Pertanyaan sangat sederhana mengapa saya memanggil Abah Mamak, bukan panggilan sewajarnya di lingkungan sekolah saya seperti Bapak Ibu.

Tidak hanya teman sekolah, guru sekolah pun banyak yang bertanya. Mengapa saya tidak menggunakan istilah Abah Umi atau Abi Umi seperti orang keturunan Arab. Mengapa juga bukan Bapak Ibu atau Ayah Ibu seperti teman-teman sekolah yang lain yang asli Jawa? Semakin saya merasa aneh yaitu ketika masuk sekolah pasca liburan. Saya bercerita ke teman bahwa saya berlibur di rumah Ninik dan Kaik di Pasuruan. Teman saya malah bertanya, “Ninik itu siapa?”. Lalu saya jawab, “Ninik ya Ninik. Masak kamu nggak punya Ninik?” Itu jawaban saya saat masih kelas 1 SD. Karena pemikiran bahwa semua teman juga memanggil Ninik dan Kaik untuk sebutan Nenek dan Kakek. Sayangnya, saya sama sekali kami tidak pernah mendapat penjelasan di rumah terkait hal-hal di atas. Bahkan soal istilah makanan saja, terkadang saya dengan teman kuliah menjadi berselisih. Saya mengatakan bahwa ini paes pisang, sedangkan teman ngotot bahwa ini namanya nogosari. Eh, tenyata dua istilah itu mengacu pada jajanan yang sama.

Hingga suatu saat di usia 25, saya mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama. Saya bertemu banyak teman dari berbagai daerah di Nusantara. Salah satunya adalah Kak Tara yang bernama lengkap Siti Tarawiyah. Dia asli Banjarmasin. Dia bukan roomate saya ketika di asrama. Kebetulan saja saya sedang mampir di kamarnya dan mendengarkan dia telpon dengan anaknya. Di kamar itulah saya mencuri dengar istilah-istilah Abah Mamak, Kaik Ninik, guring, dst. Lalu saya sampaikan ke Kak Tara bahwa sejak kecil saya juga memanggil demikian namun kami tidak berlogat Banjarmasin. Untuk Paman, saya gunakan kata “Bah” yang berasal dari kata “Abah”. “Mak” dari kata “Mamak” untuk istilah tante. Saya juga masih menggunakan istilah Acil, Julag, Ulun, Pian, dan Ikam. Tidak hanya itu, jajanan sehari-hari saya masih sangat dekat dengan amparantatak, sarimuka, paes pisang (nogosari), pepesan, cucur, cincin, bingka pisang, dan bingka kentang. Masakan pun, saya masih menggunakan istilah Masak Habang untuk sejenis Rendang, Soto Banjar, Masak Ayam Kuning, Sate Banjar, dst. Saya bertanya ke Kak Tara. “Kak, mengapa saya memanggil Abah Mamak?” Lalu Kak Tara menjawab,”Ya karena kamu orang  Kalimantan, Banjarmasin Yin....”. Dengan intonasi bicara Kak Tara yang khas. “Kalau orang Banjarmasin, ya pasti manggilnya Abah Mamak,” sambungnya.



Saya memang pernah mendengar sekilas tentang perantauan orang Banjarmasin terkhusus Martapura yang menjadi pusat intan berlian. Mereka sengaja merantau jauh-jauh ke Jawa untuk berdagang intan permata, salah satunya di daerah Jayengan, Serengan. Entahlah kapan itu terjadi. Meski Ninik Kaik saya baik dari pihak Abah maupun Mamak memang lahir di Banjarmasin tapi Abah Mamak sudah lahir dan besar di Solo tepatnya Jayengan. Kakak saya nomor 1,2,3 sudah pernah diajak ke Martapura untuk silaturahmi ke para sesepuh. Tapi saya, kakak ke 4 dan 5 belum pernah diajak kesana.

Kampung Jayengan yang berada di Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, dulu banyak didominasi orang asli Banjarmasin. Mereka semua masih berbicara dengan Bahasa Banjar dan logat Banjarmasin yang sangat kental. Warung Banjar yang menyediakan berbagai makanan khas Banjar juga masih beroperasi hingga sekarang. Seiring berjalannya waktu, asimilasi dan akulturasi terjadi. Dulu, pemikiran orang lama harus menikahkan anak dengan sesama yang masih asli berdarah Banjarmasin. Tapi pemikiran di atas lama-lama tidak relevan. Jawa dan Banjarmasin pun berkolaborasi. Banyak dari mereka yang bersatu melalui pernikahan. Sehingga anak turunnya sudah bercampur Jawa-Banjar, seperti nasib anak saya, hehehehe...Kami pun juga mengadaptasi istilah, yang dulunya saya memanggil Ninik Kaik, kini anak saya memanggil Nenek-Kaik.



Pernah suatu saat saya makan di warung Banjar dengan menu favorit yaitu Soto Banjar. Sebelah saya Bapak-bapak. Saya tahu kalau dia tinggal di kampung sebelah. Namun saya tidak tahu namanya. Saya ngobrol dengan calon suami dengan menggunakan aku-kamu. Bapak tersebut lalu menanyakan dimana saya tinggal dan siapa nama Bapak saya. Lalu ia mengatakan, “Kalau bukan orang Banjar, nggak mungkin makan disini. Oalah ikam anaknya Bah xxx to?”. Saya jawab, “Nggih.” Ia pun melanjutkan dengan kata-kata yang menohok, “Nggak usah pakai aku-kamu, kayak artis di TV saja. Pakailah Ulun atau Sorong. Nanti tak laporin Abah kamu lho.”

Semenjak ketemu Kak Tara, saya sadar dan bangga ketika menyebut istilah Abah Mamak di depan orang lain. Meski teman saya mayoritas orang Jawa, tapi itu bukanlah alasan untuk mengganti Abah Mamak menjadi Bapak Ibu di depan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar