Ditulis oleh @elliyinayin
Saya sempat bekerja di sebuah
institusi pendidikan tinggi negeri di Kota Bengawan sekitar 3.5 tahun. Sering
kali saya menghadiri sebuah acara karena sebuah tugas liputan maupun murni
hadir karena undangan. Tak jarang pula, di tengah acara maupun akhir acara,
dalam kegiatan tersebut diselingi dengan coffee break dan santap siang,
yang terkadang disajikan dalam bentuk snack box dan lunch box
maupun self service (prasmanan).
Kantor mengadakan acara
Halal Bihalal dalam rangka merayakan hari raya Idul Fitri 1437 H yang
diselenggarakan di gedung lantai 3 (note: gedung tanpa lift). Setelah prakata
sambutan dan sedikit pembinaan dari pimpinan, maka kami dipersilakan untuk santap
siang ala prasmanan. Disana ada menu pembuka, seperti sosis goreng dan jajan
pasar. Ada main course berupa nasi
serta lauk pauk dan lontong opor ayam. Sedangkan untuk menu penutup tersedia es
buah. Air mineral, teh hangat pun tersaji.
Namun, dalam tulisan ini, bukan menu maupun apa yang tersaji dalam
prasmanan tersebut yang menjadi fokus saya. Saya lebih menyoroti sebuah behind
the scene sehingga santapan tersebut dapat tersaji rapi di meja.
Tahun 2013, saya pernah bekerja di sebuah resto di daerah
Keprabon, Solo. Resto tersebut milik Cina. Meskipun akhirnya
saya hanya bertahan 10 hari, namun bagi saya 10 hari tersebut sangat bermakna
dan membuka mata saya lebar-lebar tentang dunia kuliner dan event.
Sebelum berbicara tentang bagaimana beratnya pekerjaan seorang
pramusaji dan koki di dapur. Saya
akan menyampaikan tentang alasan saya sengaja
melamar menjadi seorang pramusaji di
resto tersebut. Saat itu, saya sedang mengajar di sebuah sekolah perhotelan dan
pelayaran. Meskipun saya mengampu mata kuliah Bahasa Inggris, namun tentu saja
butuh pengalaman riil tentang sebuah service
di sebuah hotel, khususnya melatih good behavior dan manner,
serta melatih interaksi antara customer dan servant. Saya juga dituntut
untuk mengerti dan memahami perasaan seorang pramusaji yang lebih sering mendapat
complain dibanding pujian. Tidak hanya sampai disitu, saya pun juga harus mampu
untuk memberikan solusi kepada siswa-siswi saya saat mereka melempar berbagai
pertanyaan yang lebih mengarah pada praktik dibanding teori. Pada intinya, saya butuh pengalaman nyata dan
mengasah psikis saya agar peka dengan apa yang diinginkan oleh customer.
Pernahkan terlintas di
pikiran anda betapa berat mengangkat meja, piring,
gelas, dsb hingga lantai 3 tanpa lift? Itu sangat berat kawan. Kisah detailnya ada di bagian 2 ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar