sumber: www.google.com |
Ditulis oleh @elliyinayin
Bermula dari sebuah pengamatan di sebuah ”wedangan[1]” tempat biasa kami cangkrukan[2]. Para mahasiswa lebih senang menyebut dengan diskusi bebas dan terbuka jika posisi mereka berada di sekitar lingkungan kampus. Menurut mereka itu lebih keren dan berbobot sesuai dengan gelar yang akan mereka sandang setelah tali topi toga berpindah dari sisi kiri ke sisi kanan, dan saat itulah penanda tugas dan tanggung jawab sarjana benar-benar dimulai.
Sungguh ini hanya sekedar obrolan ringan yang mampu menggugah kesadaran, mempertebal iman, dan mengetuk pintu hati. Lagi-lagi ini adalah malam minggu, waktunya kami bersantai tanpa memikirkan tugas-tugas kuliah yang bejibun[3]. Yang karena kertas makalah dan fotocopian tersebut mampu membuat negeri ini panas, banjir, longsor, dan erosi disebabkan tugas-tugas yang kami kerjakan, buku-buku tebal yang dicetak untuk kami baca, tapi lebih sering hanya sekedar jadi pajangan di rak. Dunia memang ibarat sebuah koin, yang selalu mempunyai dua sisi untuk dikaji dan tak bisa dipungkiri.
Wedangan ini tak pernah sepi dari pelanggannya, bapak-bapak, om-om, tukang becak, supir taksi yang ikut mangkal asyik membicarakan bencana negeri, korupsi para pejabat, tidak meratanya kualitas pendidikan negeri, janji orang-orang pembuat undang-undang, bahkan ada seorang guru yang membicarakan soal BHP[4]. Segala topik dari yang berat sampai ringan tak berbobot bisa kita dapatkan di sana. Indonesia memang kaya tak terkira.
Malam minggu, banyak polisi berpatroli, muda mudi seperti tak punya tugas dan tanggung jawab apapun di hari itu. Kebetulan wedangan tersebut tak terlalu jauh dari ”bangjo”[5]. Tiba- tiba ada seorang pemuda mengendarai motor satria ngebut melebihi aturan standard kecepatan kota yang ditetapkan. Dan di situ terdapat tulisan ”kawasan tertib lalu lintas”. Terang, pak polisi mengejarnya secepat superman terbang. Selanjutnya entah apa yang terjadi dengan si pengendara, kami tidak tahu. Yang jelas dalam benak kami, yang sedang menikmati wedang jahe, tidak habis pikir ”kok berani sekali ya melanggar aturan padahal sudah jelas-jelas perempatan ini kawasan tertib lalu lintas, ada bangjonya, selalu di jaga polisi, apalagi jika malam minggu.”
Di saat itulah kudengar perbincangan hangat mereka, para sesepuh (maksudku orang-orang yang lebih senior dariku, yang sudah makan asam garam lebih banyak).
”Wah, anak muda zaman sekarang lebih parah dari kita ya Pak. Apa mereka buta huruf dan buta aturan? Lha wong saya saja yang tukang becak ngerti kalau itu warna merah yang artinya harus berhenti. Saya tidak perlu kuliah untuk mengerti hal tersebut.”
”Lha nggih pripun Pak, kulo men kuwalahan.[6] Saya ini guru SMP, anak saya kuliah semester tujuh. Anak saya sering menceritakan hal-hal dan tindakan yang mengarah pada korupsi di organisasi kampusnya. Anehnya dia tahu bahwa itu korupsi, tapi ya tetap saja dijalani, alasannya demi kelancaran kegiatan yang sudah diagendakan di organisasi. Opo aku ra melu stress lan isin Pak, ngerti anak koyo ngono?[7] Di sekolahkan, bayar mahal, tapi kenapa hanya otaknya saja yang berkembang, akal dan akhlaknya tidak. Duh Gusti, paringono sabar![8]” keluh Pak guru SMP.
Dulu anak saya malah pernah bicara begini, ”Lha yang ngajari yang atas kok pak, ya kita manut-manut saja, asal dana bisa cair dan kegiatan bisa berlangsung, kami tidak peduli bagaimana cara uang itu bisa cair. Sampun biasa pak nggagem nota palsu, distempel piyambak, nggantos anggaran,[9] kalau tidak seperti itu malah aneh Pak.”
Zaman edan, negara ra waras[10] (jerit hatiku, menolak sekaligus meng-iya-kan statemen yang ada, karena aku pun mengalami dilema itu)
”Ngapunten[11] Pak,” aku menyela. ”Semester tujuh ya Pak?,” aku menambahkan.
”mBoten[12], putra saya yang semester tujuh,” jawab guru SMP itu.
”Lha sing mboten saged maos sinten?”[13]
”Itu lho, yang tadi ngebut pake motor satria, tanpa helm, melanggar bangjo. Lha itu juga ada yang tidak melanggar bangjo tapi tanpa helm tetap selamat dari kejaran dan teguran polisi satlantas. Aneh ya negeri kita ini.” guru SMP mulai mengajak ke pembicaraan yang hangat.
”Sama-sama melanggar aturan, tapi kok diperlakukan dan ditindak dengan beda-beda. Jika aturan sama, ya seharusnya berlaku untuk semua. Ngonten to dik?, sing sekolah mesti luwih paham,” imbuh tukang becak.
Seperti di hantam palu kepalaku. Aku hampir tersedak karena aku sambil menikmati nasi kucing[14] dan beberapa butir telur puyuh yang ada di hadapanku. Aku pun tidak mengangguk, tidak menggeleng. Betapa mereka bisa mengerti akan fungsi dan aturan hukum bahkan mereka lebih paham akan hak dan kewajiban tanpa mereka harus sekolah tinggi-tinggi seperti para pejabat yang ujung-ujungnya bukan melayani rakyat tapi minta dihormati rakyat. Lalu siapa yang lebih kaya dan siapa yang lebih miskin hatinya? Betapa mereka sangat mengharapkan negara yang bersih (dari KKN), penegakan hukum yang berlaku tidak dengan perkecualian.
Di sela-sela kepalaku yang mulai berat, aku juga mendengar mereka beralih topik, membicarakan Gayus, Artalita Suryani, Aulia Pohan, dan sederet nama-nama (yang biasa kami sebut sebagai koruptor, yang sering muncul di headline berita TV maupun koran) yang menurut bapak-bapak tadi adalah orang-orang yang merendahkan moral, harkat, dan martabat bangsa. Bahkan mereka pun sesekali menyebut dengan ”penghancur negeri”. Nggondol uang negara, yang artinya uang rakyat, segala hak rakyat, hanya untuk memenuhi perut mereka. Yang paling tertancap dalam hati dan pikiranku adalah ketika si tukang becak bicara dengan mulut penuh dengan krupuk udang, ” Opo wong-wong kae ora wedi doso? Opo ora wedi karo sing Kuoso?Yen mati, pirang trilyun sing arep melu dipendem ning kubur?”[15]
Sedangkan aku, aku sudah menjadi koruptor junior, aku juga semester tujuh, aku hidup di dunia akademis yang selalu menjujung tinggi akhlak dan moral serta integritas intelektual. Seharusnya kita sebagai penuntut ilmu, berprinsip ”bagai ilmu padi, makin berisi makin merunduk”. Aku ini mahasiswa, agent of change, aku sering mendengar kata-kata itu diteriakkan teman-temanku saat melakukan aksi (demonstrasi). Lalu, apa benar semua itu, aku tidak senang dengan orang yang ”maling teriak maling”, sedangkan aku sendiri adalah pelaku ”maling teriak maling”. Melabeli diri sebagai agen perubah, tapi aku sendiri juga tetap melestarikan budaya yang tanpa kita sadari menghancurkan negeri sendiri, yaitu korupsi. Aku tidak melakukan perubahan apapun, aku juga mengajari adik-adik tingkatku berbohong, membuat nota palsu dan segala kelicikan yang mengikuti di belakangnya.
Aku tak jarang datang di kelas terlambat dengan alasan rapat organisasi. Aku sering hadir di kelas hanya untuk memenuhi presensi agar dapat mengikuti ujian, teman-temanku lebih memalukan dengan tingkah ”nitip presensi/ tanda tangan”. Aku tak jarang mengambil rokok dan tidak membayarnya saat di kantin. Aku bahkan hobi ”copy and paste” tugas-tugas kakak tingkat. Lebih parah teman-temanku yang ”copy paste dari paman google” tanpa mencantumkan alamat rujukan (referensi). Itu semacam kecurangan HAKI[16] (lagi-lagi korupsi-KETIDAKJUJURAN). Aku juga tidak canggung untuk minta kiriman dari orang tua lebih dari dua kali lipat dari biaya kuliah yang kubutuhkan. Semua yang kusebut, tidak hanya aku, tapi berdasar pengamatan dan beberapa obrolan dengan teman-teman, kakak tingkat, dan adik tingkatku, bisa kusimpulkan: tidak sedikit dari mereka yang melakukan apa yang kupaparkan. Betapa tidak tanggung jawabnya kami sebagai anak dan mahasiswa yang sering dibanggakan orang tua di depan kerabat mereka. Harapan mereka tinggi, akhlak kami yang nantinya bagus akan dijadikan panutan, teladan. Ilmu yang kami dapat, diharapkan untuk ditularkan ke masyarakat. Kulihat si tukang becak itu membanting tulang untuk membiayai sekolah anaknya, sedangkan aku malah melakukan aksi korupsi yang tentu saja akan merugikan diriku sendiri dan orang lain.
-^^^-
Opo ora wedi karo sing Kuasa? (Apa tidak takut dengan Yang Maha Kuasa)
Refleksi diri, introspeksi
Lihatlah betapa kacaunya jiwa pemuda kita, para akademisi yang diharapkan mampu memegang amanah negara di masa depan, malah sudah menjadi koruptor junior. Jiwa membara yang seharusnya disulut dengan api dan semangat kebaikan, seperti sudah tidak ada secercah cahaya lagi. Bibit yang buruk, menghasilkan buah yang tidak manis. Ironisnya, hal tersebut terjadi di tempat yang seharusnya bersih, karena perguruan tinggi adalah cerminan ilmu yang terefleksi pada kepribadian dan iman yang kuat karena adanya sebuah pemahaman yang mendalam.
Kita pun tidak dapat memungkiri dengan wacana; fenomena yang telah dipaparkan di atas. Saatnya kita para pemuda memperbaiki diri, jadilah teladan, tidak perlu demo sana, demo sini, demo lah diri anda sendiri yang sekiranya melakukan banyak kecurangan dan kelicikan dalam bertindak. Ingatlah dunia bukan segalanya, bukan atasan kita yang perlu kita takuti, tapi Atasan kita yang sesungguhnya yang harus ditaati. Tumpas benih-benih jiwa korupsi yang bersemai dalam dirimu.
Negara kuat jika pemudanya kuat dan baik akhlaknya.
Surakarta, 3 November 2010
Note: Tulisan di atas merupakan hasil lomba yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret. Alhamdulillah Juara I. Saya menuliskannya hanya dalam 2 pagi. Dua kali pasca subuh selama 2 jam. Tulisan di atas tidak dipublikasikan oleh penyelenggara, sehingga saya posting pada wordpress pribadi ini. Memang tulisan sudah cukup lama, namun sangat berharap dapat menginspirasi agar kita selalu berbuat baik.
Berikut sertifikatnya sebagai bukti otentik karya, piala ada di rumah orang tua |
[1] Sejenis warung yang bernuansa merakyat dan santai, biasanya lesehan dan ada di trotoar jalan, menyajikan menu yang khas ada HIK (Hidangan Iklim Kampung). Si penjaual menaruh jajanannya di gerobak, biasa buka setelah waktu salat magrib (setelah matahari tenggelam).
[2] Mengobrol atau berbincang hal-hal ringan, atau juga bisa diartikan nongkrong.
[3] Sangat banyak, bahkan tugasnya sampai bertumpuk-tumpuk
[4] Badan Hukum Pendidikan
[5] Lampu merah lalu lintas
[6] Lalu mau bagaimana pak, Saya juga tidak bisa menangani/ menyelesaikan.
[7] Apa saya tidak ikut stress dan malu Pak, tahu anak seperti itu?
[8] Tuhan, berilah aku kesabaran!
[9] Sudah biasa Pak pakai nota palsu, stempel sendiri, mengganti anggaran
[10] Zaman gila, negara tidak sehat
[13] Lalu yang tidak bisa membaca siapa?
[14] Nasi bungkus dengan lauk secuil ikan bandeng dan sambal
[15] Apa orang-orang tersebut tidak takut dosa? Apa tidak takut dengan Sang Pencipta? Kalau meninggal dunia, mau berapa trilyun yang mau ikut dipendam dalam makam?
[16] Hak Atas Kekayaan Intelektual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar